Jumat, 29 April 2016

Nama-nama Yang Bikin Komputer Bingung



Beberapa orang punya nama yang membingungkan bagi situs online yang mereka kunjungi. Hal ini membuat kehidupan online mereka cukup merepotkan. Mengapa ini terjadi?

Suami Jennifer Null telah memperingatkan perempuan itu ketika mereka menikah bahwa mengambil nama belakangnya dapat berujung pada frustrasi di kehidupan sehari-hari. Dia sudah menduganya – keluarganya sering bercanda tentang itu. Dan tentu saja, tepat setelah pernikahan, masalah dimulai.

“Kami pindah segera setelah menikah. Jadi setelah saya mengganti nama belakang, saya membeli tiket pesawat,” tuturnya.

Ketika Jennifer Null hendak membeli tiket, dia mendapat pesan error di kebanyakan situs penjualan tiket. Situs-situs tersebut mengatakan, dia tidak mengisi kolom nama belakang dan memintanya mencoba kembali.

Akhirnya, dia harus menelepon perusahaan pesawat untuk memesan tiket – tapi itu bukan akhir masalahnya.

“Saya diminta menjelaskan kenapa saya menelepon, dan ketika saya menjelaskan situasinya, mereka bilang, ‘Itu tidak mungkin’,” ujarnya.

Namun bagi programer, sangat mudah memahami mengapa “Null” bisa jadi masalah bagi perangkat lunak yang berinteraksi dengan basis data. Itu karena kata ‘null’ dipahami oleh sistem sebagai kolom nama yang kosong.
Terkadang, administrator sistem harus menangani masalah bagi orang yang memang bernama “Null” – tapi masalah ini jarang terjadi dan ada kalanya sangat sulit diselesaikan.

Bagi Jennifer Null, ibu rumah tangga yang tinggal di Virginia selatan, Amerika Serikat, frustrasi tidak berakhir dengan berhasil mendapatkan tiket pesawat. Dia juga kesulitan memasukkan detail identitasnya ke situs pajak pemerintah, misalnya. Ketika dia dan suaminya mencoba menetap di kota baru, mereka juga kesulitan membayar tagihan.

Umumnya, semakin penting suatu situs atau jasa, semakin ketat kontrol terhadap nama yang dia masukkan – namun itu berarti masalahnya ada pada sistem.

Sebelum anaknya lahir, Null bekerja sebagai guru pengganti yang dipanggil lewat telepon. Dalam pekerjaan itu dia dapat diberitahu tentang lowongan lewat layanan online atau lewat telepon. Namun, situsnya tidak berguna bagi Null – dia harus selalu mengatur jadwal kerja lewat telepon.

“Rasanya saya masih harus melakukan banyak hal dengan cara lama,” kata perempuan itu.

“Di satu sisi cukup bikin frustrasi saat kami sedang benar-benar butuh, tapi ini lebih sering jadi anekdot lucu untuk disampaikan kepada orang-orang,” dia menambahkan. “Kami sering menjadikannya bahan lelucon. Ini cerita yang bagus.”

“Null” bukan satu-satunya contoh nama yang membuat komputer kerepotan memprosesnya. Ada banyak nama lain. Di dalam dunia yang semakin mengandalkan basis data untuk berfungsi, masalah bagi orang dengan nama unik semakin parah.

Beberapa orang hanya punya satu nama, tanpa nama belakang. Orang lain punya nama belakang yang hanya satu huruf.
Janice Keihanaikukauakahihulihe' ekahaunaele

Bayangkan pengalaman Janice Keihanaikukauakahihulihe' ekahaunaele, seorang perempuan Hawaii yang mengeluh bahwa KTP di negaranya harus memungkinkan warga memperlihatkan nama belakang sepanjang yang dia punya, yakni 36 karakter. Pada akhirnya, sistem komputer pemerintah diperbarui sehingga lebih luwes dalam hal ini.

Dalam terminologi komputer, insiden seperti ini dikenal sebagai “edge cases” (kasus batas) – yaitu kasus tak diduga dan problematik yang tidak dapat diselesaikan sistem, karena memang tidak didesain untuk itu.

“Setiap beberapa tahun, sistem komputer diperbarui atau diganti dan mereka diuji dengan variasi data – nama yang umum di masyarakat,” programer Patrick McKenzie menjelaskan.

“Mereka tidak selalu diuji untuk ‘kasus batas.’”

McKenzie tertarik dengan kegagalan sistem komputer modern untuk memproses nama yang tidak umum. Dia telah mengumpulkan daftar masalah tersembunyi yang sering luput dari perkiraan pemrogram ketika merancang basis data untuk menyimpan nama.

Namun, McKenzie adalah bukti bahwa masalah nama itu relatif. Bagi kebanyakan orang Barat berbahasa Inggris, nama “Patrick McKenzie” tampaknya tidak akan menghasilkan error, namun di tempat McKenzie tinggal – Jepang – namanya telah memberinya banyak masalah.

“Empat karakter dalam bahasa Jepang sangat jarang. McKenzie delapan karakter, jadi dalam formulir cetak biasanya tidak ada cukup ruang bagi nama saya,” ujarnya.

“Sistem komputer sering dirancang dengan mempertimbangkan hal seperti ini. Setiap tahun ketika saya hendak membayar pajak (lewat internet), saya tulis nama saya ‘McKenzie P” karena ruangnya cukup.”

McKenzie berusaha menyesuaikan diri. Dia bahkan mengubah namanya ke dalam aksara katakana. Namun, ketika sistem komputer bank diperbarui, dukungan untuk katakana dihapus. Ini tidak akan jadi masalah bagi pelanggan orang Jepang, tetapi bagi McKenzie, ini berarti dia tak akan bisa menggunakan situs bank tersebut untuk sementara.

“Akhirnya mereka harus mengirim surat permintaan dari cabang bank saya kepada departemen IT perusahaan untuk meminta seseorang menyunting basis data secara manual,” tuturnya.

McKenzie mengatakan, seiring sistem komputer merambah ke seluruh dunia, para pemrogram berdiskusi serius untuk meningkatkan dukungan bagi nama-nama yang termasuk “kasus batas” dan nama yang ditulis dengan bahasa lain atau karakter yang tidak umum.

Dia menjelaskan bahwa Konsorsium World Wide Web, badan standar internet, telah membuat sejumlah diskusi khusus untuk masalah ini.

“Saya pikir situasinya semakin baik, sebagian karena semakin banyak orang di komunitas programmer menyadari ini,” komentarnya.

Namun, bagi orang-orang seperti Null, ada kemungkinan mereka masih akan kerepotan di masa depan. Beberapa orang akan menyarankan mereka untuk mengganti nama demi menghemat waktu dan tenaga.

Namun, Null tidak akan melakukannya. Salah satu alasannya, dia telah mengganti namanya – ketika dia menikah.

“Cukup bikin frustrasi kalau itu terjadi,” ujarnya, mengakui. Namun, dia langsung menambahkan, “Saya menerimanya. Saya sudah terbiasa sekarang.”


Gara-gara Router Murah, Bank Kebobolan 1 Trilyun



Pada Februari lalu, sistem komputer Bank Sentral Banglades dibobol sejumlah hacker tak dikenal. Para peretas nyaris berhasil melarikan dana sejumlah 951 juta dollar AS atau lebih dari Rp 12,5 triliun kalau bukan karena kesalahan typo kata "foundation" menjadi "fandation" yang menyebabkan aksi mereka terendus pihak berwenang.

Namun, dana senilai 81 juta dollar AS (atau lebih dari Rp 1 triliun) sudah terlanjur berpindah ke kantong hacker sebelum sempat dicegah. Hingga kini, uang curian tersebut masih belum terlacak.

Menyusul penyelidikan yang dilakukan, minggu lalu, ditemukan bahwa para hacker berhasil melancarkan tindakan cyber crime lantaran bank sentral yang bersangkutan memang tidak menerapkan sistem keamanan yang memadai.


Di samping tak punya firewall, seperti dirangkum dari BBC, Selasa (26/4/2016), Bank Sentral Banglades ternyata cuma memakai router bekas, yang keamanannya meragukan.

"Ini soal organisasi yang punya akses ke dana senilai miliaran dollar, tetapi mereka bahkan tak menerapkan sistem keamanan yang mendasar," demikian komentar seorang konsultan dari firma cyberOptiv, Jeff Wichman. 

Padahal, router itu menghubungkan komputer bank dengan sistem pembayaran global Society for Worldwide Interbank Financial Telecommunication (SWIFT) yang berisi jaringan institusi keuangan di seluruh dunia. 

Pakai router murah

Hanya berbekal router bekas seharga 10 dollar AS (Rp 130.000) dan tanpa firewall, bank pun tak berdaya menghadapi serangan hacker. 

Kepala Forensic Training Institute dari Badan Reserse Kriminal Kepolisan Banglades, Mohammad Shah Alam, mengatakan bahwa komputer yang terhubung dengan SWIFT di dalam bank sentral seharusnya diisolasi dari jaringan komputer lain.

Hal itu, kata dia, bisa dilakukan kalau saja pihak bank memakai router tipe "managed" yang memungkinkan pembuatan sejumlah jaringan komputer yang saling terpisah.


Apa daya, gara-gara memilih router murah meriah, pihak bank telanjur kebobolan dana triliunan rupiah. 

Router bekas itu pun menyulitkan penyelidikan karena tidak menyimpan data jaringan yang seharusnya bisa dipakai untuk melacak pelaku dan taktik yang mereka gunakan.

Walhasil, dana 81 juta dollar AS yang dilarikan para peretas hingga kini masih belum diketahui rimbanya. Demikian pula dengan identitas, pelaku dalam pembobolan tersebut masih misterius.